Sistematika Hukum Perdata
Menurut Ilmu Hukum (Doktrin):
a. Hukum Perorangan/Hukum
Pribadi:
Merupakan keseluruhan ketentuan norma hukum
mengenai subyek hukum atau orang pribadi.
Hukum Perorangan mengatur orang sebagai
subyek hukum, siapa yang merupakan subyek hukum, kecakapan untuk bertindak dalam
lalu lintas hukum, catatan sipil, ketidak hadiran, nama dan tempat tinggal
orang/pribadi (subyek hukum) dll
Hukum Perorangan memuat peraturan-peraturan
tentang manusia sebagai subyek hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan
untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan
hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
b.
Hukum Keluarga (Familie Recht):
Hukum yang mengatur perihal
hubungan-hubungan yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu : perkawinan
serta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan isteri, hubungan
antar orang tua dan anak, perwalian dan pengampuan dsb.
Hak dan kewajiban di bidang hukum keluarga
pada dasarnya merupakan hak dan kewajiban yang tidak dapat dinilai dengan uang,
dan pada prinsipnya merupakan hubungan hukum yang sifatnya kekal (abadi).
Dalam KUHPerdata, hukum keluarga tersebut
diatur dalam Buku I, yang berjudul tentang orang.
c. Hukum Kekayaan (Vermogen
Recht):
Hukum yang mengatur hubungan antara orang
dengan harta kekayaan mereka atau mengatur mengenai hubungan hukum yang
merupakan hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Jika kita mengatakan tentang kekayaan
seseorang, yang dimaksudkan adalah segala hak dan kewajiban orang itu, yang
dapat dinilai dengan uang. Hak dan kewajiban yang sifatnya demikian, lazimnya
dapat dipindahtangankan kepada orang lain.
Hukum kekayaan dapat dibedakan menjadi 2
(dua) bagian, yaitu :
1.
Hukum Kekayaan yang sifatnya Absolut
(mutlak); Hukum kekayaan yang sifatnya absolut menggambarkan
hubungan antara orang dengan benda dan merupakan hak kebendaan yaitu hak yang
memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap
setiap orang. Hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap setiap orang yang
bermaksud mengganggu gak kebendaan tersebut. Misalnya : Hak Milik.
2.
Hukum Kekayaan yang sifatnya Relatif; Hukum
kekayaan yang sifatnya relatif, lahir dari perjanjian yang sifatnya relatif,
artinya hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu saja, yakni
orang yang terikat di dalam perjanjian itu saja. Hukum kekayaan yang bersifat
relatif ini lazim disebut Hak Perorangan, yakni hak yang lahir dari perjanjian
yang mengatur hak-hak atau prestasi. Misalnya hak seorang penjual atas harga
penjualan.
d. Hukum Waris (Erf
Recht):
Mengatur mengenai harta benda seseorang
setelah ia meninggal dunia. Mengatur mengenai beralihnya hak dan kewajiban
pewaris di bidang kekayaan (hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang)
kepada ahli warisnya.
Dengan demikian sebenarnya hukum waris
merupakan bagian dari hukum harta benda. Namun demikian hukum waris juga erat
kaitannya dengan hukum keluarga, oleh karena untuk mewaris ialah mereka yang
mempunyai hubungan darah (keluarga) dengan pewaris. Hukum waris juga erat
kaitannya dengan hukum kekayaan yang sifatnya relatif, yang lahir dari
perjanjian, sehingga berdasarkan hal tersebut maka dalam ilmu hukum terdapat
kecenderungan pendapat yang berpendirian bahwa sebaiknya hukum waris diatur
tersendiri.
Dalam KUHPerdata, Hukum waris diatur dalam
Buku II, yang berjudul tentang Kebendaan.
Sistematika Hukum Perdata
Dalam KUH Perdata:
a) Buku I Tentang Orang (van
Personen)
b) Buku II Tentang Benda
(van Zaken)
c) Buku III Tentang
Perikatan (van Verbintenissen)
d) Buku IV Tentang
Pembuktian dan Daluwarsa (van Bewijs en Verjaring)
Pendapat Ilmu Hukum
Tentang Sistimatika Hukum Perdata:
1.
Buku I KUHPerdata, pada dasarnya tidak
sesuai dengan materi yang diatur didalamnya karena didalamnya tidak hanya
mengatur mengenai orang sebagai subyek hukum, melainkan juga mengatur mengenai
hukum kekeluargaan.
2.
Judul buku II KUHPerdata tentang kebendaan,
tidak sesuai dengan materi yang diatur di dalamnya, karena di dalam buku II
tidak hanya mengatur mengenai benda dan hak-hak kebendaan tapi juga mengatur
mengenai hukum waris.
3.
Alasan pembentuk UU,
menempatkan hukum Waris dalam Buku II tentang Benda, karena Pewarisan juga
merupakan salah satu cara memperoleh hak kebendaan.
4.
Tidaklah tepat mengatur Hukum Pembuktian
dalam Buku IV karena hukum Pembuktian merupakan hukum acara (hukum
formil), sedangkan tujuan menyusun KUHPerdata adalah untuk menghimpun Hukum
Perdata materiil, dengan demikian sebaiknya hukum pembuktian dikeluarkan dari
sistimatika KUHPerdata.
Kedudukan Hukum Perdata
Setelah Kemerdekaan:
1) Pendapat Ilmu Hukum
Sebagaimana telah diuraikan di atas
KUHPerdata (BW) diberlakukan di Hindia Belanda berdasarkan Asas Konkordansi,
sebagaimana dapat disimpulkan dari pasal 131 jo 163 I.S. Setelah Indonesia
merdeka, berdasarkan ketentuan Pasal Peralihan yang terdapat dalam UUD 1945,
UUD RIS, dan UUDS 1950, KUHPerdata (BW) dan KUHD (W.v.K), dinyatakan tetap
berlaku sepanjang belum disusun UU yang baru, menurut UUD, dengan demikian maka
KUHPerdata dan KUHD tetap berlaku dalam masa kemerdekaan.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas,
dalam ilmu hukum terdapat beberapa pendapat tentang berlakunya KUH Perdata di
masa kemerdekaan, antara lain:
a. Pendapat Prof .
Sahardjo, SH
Pokok-pokok Pemikirannya ialah sebagai
berikut :
1.
KUHPerdata (BW) merupakan hasil produk
legislatif Belanda atas hukum di Hindia Belanda sehingga banyak dipengaruhi
oleh alam pemikiran penjajah atas negara jajahannya
2.
KUHPerdata (BW) dibentuk atas dasar pasal
131 jo 163 IS, yang bersifat diskriminatif dengan membagi-bagi penduduk menjadi
beberapa golongan penduduk dan meletakkan golongan Indonesia Asli sebagai
golongan yang paling bawah
3.
Karena KUHPerdata dibuat berdasarkan
PRINSIP DISKRIMINATIF, sementara prinsip tsb tidak dikenal oleh UUD45 maka
KUH.PERDATA BUKANLAH merupakan suatu KITAB UNDANG-UNDANG (BUKAN MERUPAKAN
WETBOEK) melainkan hanya MERUPAKAN BUKU HUKUM (MERUPAKAN RECHTSBOEK), yang
isinya KUMPULAN HUKUM KEBIASAAN. Dengan demikian kedudukan KUH.PERDATA BUKAN
SEBAGAI UNDANG-UNDANG melainkan merupakan HUKUM KEBIASAAN.
4.
Berdasarkan pada prinsip pemikiran
tersebut, dimana KUH Perdata merupakan kumpulan hukum Kebiasaan maka
selanjutnya DISERAHKAN KEPADA PERANAN HAKIM untuk menilai ketentuan-ketentuan
di dalam KUHPerdata, apakah sesuai atau tidak dengan alam kemerdekaan. Dalam
hal hakim menilai tidak sesuai maka hakim dapat memutuskan perkara dengan
menyimpang dari KUHPerdata. Adalah tugas hakim untuk menilai
ketentuan-ketentuan di dalam KUHPerdata, dengan memperhatikan kebutuhan
masyarakat di alam kemerdekaan.
b. Pendapat Prof .
Mahadi, SH
Prof. Mahadi, SH, tidak sependapat dengan
pendapat DR.Sahardjo, yang menurunkan KUHPerdata dari “Wet Boek” atau “Kitab
Undang-Undang menjadi “Recht Boek” atau “Buku Hukum” yang isinya kumpulan hukum
kebiasaan.
Garis besar pendapat Prof. Mahadi adalah
sebagai berikut :
1.
KUHPerdata (BW) merupakan produk
Belanda, dalam mengatur tatanan hukum di Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi
oleh alam pemikiran negara penjajah atas negara jajahannya (berdasarkan pasal
131 jo 163 IS);
2.
KUHPerdata (BW) merupakan produk yang
didasarkan pada pasal 131 IS, yang sifatnya diskriminatif, oleh karena itu
mengandung ketentuan-ketentuan yang tidak sesuai dengan alam kemerdekaan;
3.
Prof. Mahadi, SH, tidak sependapat dengan
pendapat Dr. Sahardjo, yang menurunkan KUHPerdata dari “Wet Boek” atau “Kitab
Undang-Undang menjadi “Recht Boek” atau “Buku Hukum” yang isinya kumpulan hukum
kebiasaan;
4.
Karena ketentuan itu dianggap berdiri
sendiri, dan lepas dari ikatan kodifikasi maka untuk selanjutnya diserahkan
kepada hakim untuk menilai pasal-pasal tersebut, sesuai atau tidak dengan alam
kemerdekaan dan menyampingkannya jika dianggap tidak sesuai dengan alam
kemerdekaan.
Prof. Sardjono, SH menjelaskan bahwa teori
Prof. Mahadi, SH, dapat dinamakan teori “Sapu Lidi”, dengan pengertian bahwa
ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata dianggap lepas dari ikatan kodifikasi yang
dianggap sebagai pengikat pasal-pasal didalamnya. Kodifikasi diartikan sebagai suatu
pengikat, seperti ikatan pada sapu lidi, yang mengikat lidi (jika lidi itu
lepas dari ikatannya maka berdiri sendiri-sendiri dan tidak dapat dikatakan
sebagai sapu). Dengan anggapan seperti itu, maka Prof. Mahadi, SH, selanjutnya
menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata dianggap lepas dari
ikatan kodifikasi, maka ketentuan atau pasal-pasal tersebut, masing-masing
dianggap berdiri sendiri, dan tidak terikat dalam suatu sistem atau dalam suatu
kodifikasi.
c. Pendapat DR .
Mathilda Sumampuow, SH
Dr.Mathilda Sumampuow, SH mengemukakan
bahwa pada dasarnya hukum mengejar 2 tujuan, yaitu mengejar keadilan dan
kepastian hukum, sehingga dengan demikian pendapat yang menyatakan KUHPerdata
bukan merupakan UU, melainkan hanya merupakan kumpulan hukum kebiasaan adalah
kurang tepat, karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Oleh karena itu KUHPerdata adalah suatu
kitab UU, yang kedudukannya sama dengan UU yang merupakan produk hukum nasional
sesudah kemerdekaan Indonesia, yang dibuat Presiden bersama-sama DPR.
d. Pendapat Prof .
Subekti, SH
Dalam kenyataannya ilmu hukum pernah
mempersoalkan bagaimanakah kedudukan KUHPerdata yang merupakan produk hukum
pada masa Hindia Belanda, yang masih berlaku hingga sekarang. Apakah KUHPerdata
tersebut sama dengan produk hukum yang berbentuk Undang-Undang, yang
dikeluarkan pada masa kemerdekaan, yang dibuat oleh DPR bekerjasama dengan
Presiden ?
KUHPerdata (BW) merupakan produk hukum
sebelum kemerdekaan atau produk pada masa pemeritah Hindia Belanda. Dalam
perkembangannya, setelah Indonesia merdeka, KUHPerdata diberlakukan di Negara
Republik Indonesia, berdasarkan peraturan peralihan Undang-Undang Dasar, yang
pernah berlaku di Indonesia, yang menunjukkan tetap berlakunya peraturan lama
sebelumnya, selama belum terbentuk peraturan perundang-undangan yang baru,
sesuai dengan Undang-Undang Dasar yang berlaku. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya kekosongan hukum. Berdasarkan peraturan peralihan yang ada
pada tiap Undang-Undang Dasar tersebut maka berlakulah KUHPerdata 1848, hingga
sekarang.
KUHPerdata (BW), dalam perkembangannya juga
telah tidak berlaku seutuhnya karena telah dicabut dengan beberapa
Undang-undang, antara lain UU NO. 5 tahun 1960 (UUPA), yang telah
mencabut ketentuan Buku II KUHPerdata yang mengatur mengenai hipotik. Dengan
dicabutnya Buku II KUHPerdata dan ditetapkannya hukum adat menjadi dasar hukum
tanah yang baru (konsiderasi/berpendapat serta pasal 5 UUPA), maka diakhirilah
dualisme dalam hukum tanah di Indonesia, dengan demikian tercapailah cita-cita
unifikasi atau kesatuan hukum tanah di Indonesia, yang sesuai dengan cita-cita
persatuan bangsa.
KUHPerdata Buku I, juga telah dicabut oleh
UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dan pasal 66 UU Perkawinan pada intinya
menentukan bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubugnan dengan
perkawinan dilakukan berdasarkan ketentuan UU Perkawinan dan
peraturan-peraturan lain (ketentuan perkawinan dalam KUHPerdata, HOCI dll) yang
mengatur tentang perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang telah
diatur dalam UU Perkawinan.
Tujuan pencabutan Buku I KUHPerdata, tidak
jauh berbeda dengan pencabutan Buku Indonesia, yakni dimaksudkan untuk
menciptakan unifikasi hukum dibidang perkawinandi Indonesia. Untuk itu
pembentuk UU menetapkan berlakunya undang-undang tentang perkawinan yang
berlaku bagi semua warga negara.
Dalam hal ini kiranya perlu kita berikan
catatan atau perhatian bahwa KUHPerdata (BW), yang merupakan produk hukum
pemerintah Belanda, ternyata telah dicabut dengan produk hukum nasional, yang
berbentuk UU, yakni dicabut dengan UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) dan UU no.1 tahun
1974 tentang Perkawinan.
Apakah makna yang terkandung di dalam
pencabutan KUHPerdata yang dilakukan dengan Undang-Undang, kesimpulan apa yang
dapat kita tarik dari pencabutan tersebut?
Mengenai hal ini menarik untuk dikemukakan
dan dikaji pendapat Prof. R. Subekti, yang menyatakan bahwa dengan
dicabutnya KUHPerdata dengan produk hukum nasional, yang berbentuk UU, maka hal
ini secara implisit, pada hakekatnya merupakan pengakuan dari Pemebntuk UU
Nasional, bahwa KUHPerdata adalah merupakan UU, dengan demikian kekuatan yang
mengikatnya sama dengan produk hukum nasional yang berbentuk UU yang dibuat
oleh Presiden dengan DPR. KUHPerdata adalah merupakan Kitab UU dan bukan merupakan
Buku Hukum yang isinya adalah kumpulan hukum kebiasaan, sebagaimana pendapat
yang dikemukakan oleh Dr. Sahardjo, SH.
Kedudukan Hukum Perdata
Setelah Kemerdekaan:
Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 3 Tahun 1963:
SEMA No. 3 tahun 1963, yang isinya mencabut
beberapa ketentuan KUHPerdata, antara lain ketentuan pasal 283 ayat 4,
karena dinyatakan diskriminatif, dan karena beberapa ketentuan lain,
seperti:
-pasal
108;
-Pasal 1460;
-Pasal 284 ayat
3;
-Pasal 1603 X ayat 1 & 2 dianggap tidak adil.
-Pasal 1682;
-Pasal 1579,
-Pasal 1238;
Pendapat Prof. Subekti, SH, sehubungan
dengan SEMA No.3 Tahun 1963 :
SEMA pada hakekatnya ditujukan kepada para
hakim, untuk memberikan pedoman di dalam memutuskan perkara. Dalam hal ini
hakim diberikan keleluasaan oleh MA, untuk menafsirkan pasal-pasal yang
disebutkan tadi, untuk menyesuaikan dengan alam kemerdekaan, guna memenuhi rasa
keadilan. SEMA tersebut tidak mempunyai daya kekuatan hukum untuk mencabut
ketentuan pasal di dalam KUHPerdata, bahkan hakim di dalam memutuskan perkara,
bebas untuk mengikuti atau tidak mengikuti anjuran yang diberikan oleh MA,
berdasarkan SEMA tersebut. Artinya jika hakim beranggapan bahwa ketentuan pasal
1460, 108 ataupun 110 adil untuk diterapkan, maka hakim tidak harus mengikuti
SEMA tersebut. Yurisprudensilah, yang nantinya dapat mengenyampingkan ketentuan
pasal di dalam KUHPerdata yaitu dalam hal keputusan hakim yang mengikuti SEMA
itu diikuti oleh hakim-hakim yang lain, karena dianggap tepat dan adil.
Sejarah dan Sistematika KUH Perdata
Keadaan Hukum Perdata Di
Indonesia
Hukum Perdata di
Indonesia bersifat berbhineka atau bersifat pluralistik, baik secara etnis
maupun secara yuridis.
Secara etnis dikatakan
bersifat pluralistis atau berbhineka karena hukum- hukum yang berlaku bagi
penduduk Indonesia, berbeda-beda dari masyarakat adat yang satu dengan
masyarakat adat yang lainnya. Keadaan tersebut ditambah dengan diberlakukannya
Politik Hukum Belanda di Hindia Belanda yang merupakan Landasan Politik Hukum
Belanda atas tata hukum di Hindia Belanda.
Pasal 131 IS, secara
garis besar menentukan hal-hal sebagai berikut :
a. Hukum Perdata dan Hukum Dagang (begitu
juga Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Pidana) harus diletakkan
dalam kitab undang-undang, yaitu dikodifikasi.
b. Untuk golongan Eropa dianut (dicontoh)
perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (Asas Konkordansi).
c. Untuk golongan Indonesia Asli dan Timur
Asing (Cina, Arab, dsb), jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka
menghendaki, hukum Eropa dapat dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya
maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan untuk membuat suatu
peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang
berlaku di kalangan mereka dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh
kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakat mereka.
d. Orang Indonesia asli dan orang Timur
Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama
dengan golongan Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku
untuk golongan Eropa. Penundukkan diri ini boleh dilakukan secara umum atau secara
hanya mengenai perbuatan tertentu saja.
e. Sebelum hukum untuk golongan Indonesia
Asli ditulis dalam undang-undang, bagi mereka akan tetap berlaku hukum yang
sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka secara
garis besar dapat ditarik beberapa pokok pemikiran mengenai politik hukum
Belanda yang meletakkan tatanan hukum di Hindia Belanda sebagai berikut:
1.
Hukum Perdata dan Hukum Dagang dll, dibuat
dalam Kitab Undang-Undang yaitu DIKODIFIKASIKAN dan untuk Gol. Eropa diberlakukan
ASAS KONKORDANSI, yaitu hukum yang beralku di Belanda diberlakukan bagi
golongan Eropa di Hindia Belanda;
2.
Penduduk Hindia Belanda dibagi dalam
golongan-golongan penduduk dan bagi mereka berlaku sistem hukum yang
berbeda-beda (pasal 131 jo 163 I.S);
3.
Penggolongan penduduk dan sistem hukum yang
berlaku adalah sbb:
1.
Golongna Eropa : diberlakukan Hukum yang
berlaku di Belanda.
2.
Golongan Timur Asing Cina :
KUHPerdata dan KUHD diberlakukan bagi mereka dan sejak tahun 1925, bagi mereka
berlaku semua hukum privat yang berlaku bagi Golongan Eropa, kecuali peraturan
yang mengenai Catatan Sipil. Dimana bagi mereka berlaku Lembaga tersendiri dan
peraturan tersendiri, yaitu dalam bagian IIS. 1917 : 129.
3.
Golongan Timur Asing lainnya (Arab, India,
dll), diberlakukan KUHPerdata dan KUHD, kecuali hukum kekeluargaan dan Hukum
Waris tetap berlaku hukum mereka sendiri. Dalam bidang Hukum Waris, bagian
mengenai pembuatan wasiat berlaku juga bagi mereka.
4.
Golongan Indonesia Asli : diberlakukan
Hukum Adat.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di
atas maka pada zaman Hindia Belanda telah ada beberapa peraturan
perundang-perundangan yang dinyatakan berlaku bagi golongan Indonesia, misalnya
:
1.
S. 1879 No. 256, secara garis besar
menentukan bahwa perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan, seperti pasal
1601 – 1603 lama dari KUHPerdata dinyatakan berlaku bagi golongan Indonesia
asli;
2.
S.1939 No.49, menyatakan berlaku bagi
golongan Indonesia beberapa pasal KUHD, yaitu sebagian besar dari hukum laut;
3.
S.1933 No. 74 mengenai Ordonansi Perkawinan
Indonesia Kristen;
Disamping ada peraturan yang secara khusus
dibuat bagi golongan Indonesia, ada pula peraturan yang berlaku bagi semua
golongan penduduk (semua warganegara), misalnya :
1.
S. 1933 No. 108 : Peraturan Umum tentang
Koperasi;
2.
S. 1938 No. 523 : Ordonansi Woeker (Lintah
Darat);
3.
S. 1938 No. 98
: Ordonansi tentang Pengangkutan di Udara.
Penundukan Diri Kepada
Hukum Eropa:
Perihal penundukan diri pada Hukum Eropa
diatur lebih lanjut dalam S. 1917 No. 12. Peraturan ini mengenai 4 (empat)
macam penundukan, yaitu :
1.
Penundukkan pada seluruh Hukum Perdata
Eropa;
2.
Penundukkan pada sebagian Hukum Perdata
Eropa, yang dimaksudkan hanya pada hukum kekayaan harta benda saja
(vermogenscrecht), seperti yang telah dinyatakan bagi golongan Timur Asing
bukan Tionghoa, misalnya Arab, India dsb;
3.
Penundukkan diri untuk perbuatan-perbuatan
hukum tertentu saja;
4.
Penundukkan diri secara diam-diam. Menurut
pasal 29, jika seseorang dari golongan Indonesia asli melakukan suatu perbuatan
hukum yang tidak dikenal di dalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara
diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropa.
…
Subyek hukum adalah
pembawa hak dan kewajiban dalam hukum.
Dalam hukum perkataan
Orang (Persoon) berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum.
Sekarang ini boleh
dikatakan bahwa tiap manusia baik warganegara maupun orang asing dengan tidak
memandang agama atau kepercayaannya adalah subyek hukum.
Dalam pandangan hukum
modern, setiap orang/pribadi secara asasi merupakan pendukung hak yang berlaku
sama bagi seluruh umat manusia, karena mereka sama-sama merupakan makhluk tuhan
Y.M.E.
Tiap Persoon adalah
subyek hukum dengan tidak memandang agama dan kepercayaannya.
Pasal 3 AB menyebutkan “Sepanjang
undang-undang tidak menentukan sebaliknya maka Hukum Perdata dan Hukum Dagang
adalah sama bagi orang-orang asing maupun warga negara Belanda”.
Manusia sebagai pembawa
hak (subyek) mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan
hukum. Ia dapat mengadakan persetujuan, menikah, membuat wasiat, dan
sebagainya.
Manusia sebagai subyek hukum dimulai sejak
lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia. Pengecualian
mulainya subyek hukum dalam KUHPerdata disebutkan dalam Pasal 2 KUH Perdata,
yang menentukan sebagai berikut:
1.
Anak yang ada dalam kandungan seorang
perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak
menghendakinya.
2.
Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak
pernah telah ada.
Ketentuan tersebut sangat penting artinya
dalam hal warisan. Misalnya dalam pasal 838 KUHPerdata ditentukan bahwa
seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia telah ada pada saat pewaris
meninggal dunia. Ini berarti bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris
kalau ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia. Akan
tetapi dengan adanya ketentuan Pasal 2 KUHPerdata, seorang anak yang masih
dalam kandungan ibunya sudah dianggap ada (telah dilahirkan) dan karenanya ia
telah dihitung sebagai ahli waris dari Bapaknya. Akan tetapi bilamana kemudian
anak tersebut dilahirkan dalam keadaan meninggal dunia, maka ia dianggap tidak
pernah ada.
Pentingnya Pasal 2 KUHPerdata tersebut
misalnya dapat dilihat dalam kasus sebagai berikut :
Seorang Bapak pada
tanggal 1 Januari 2005 meninggal dunia. Pada saat meninggal ia mempunyai 3
(tiga) orang anak, sedangkan isterinya dalam keadaan hamil (mengandung).
Jika tidak ada ketentuan Pasal 2 tersebut
maka yang menjadi ahli waris, kalau Bapak yang meninggal dunia tersebut tidak
meninggalkan wasiat, hanyalah isterinya (jandanya) dan 3 (tiga) orang anaknya,
masing-masing ¼ (seperempat) bagian dari Harta Peninggalan Bapak tersebut.
Sekalipun jika kemudian anak tersebut lahir
hidup pada tanggal 20 Januari 2005. ia tetap tidak dihitung sebagai ahli waris
karena pada saat Bapaknya meninggal ia belum ada.
Namun dengan adanya ketentuan Pasal 2
tersebut maka mengakibatkan anak dalam kandungan tersebut turut dihitung
sebagai ahli waris, sehingga ahli waris seluruhnya berjumlah 5 (lima) orang,
masing-masing memperoleh 1/5 (seperlima) bagian dari Harta Peninggalan Bapak
tersebut..
Sebagaimana telah sebelumnya bahwa
berakhirnya seseorang sebagai subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban dalam
hukum) adalah pada saat ia meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih
hidup, selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak.
Pasal 3 KUHPerdata, menentukan :
---“Tiada suatu hukuman
pun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak perdata”.
Jadi “Kematian Perdata” yaitu suatu hukuman
yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat memiliki sesuatu hak lagi, tidak
dianut dalam hukum sekarang ini. Yang mungkin terjadi adalah seseorang sebagai
hukuman, dicabut sementara hak-haknya, misalnya kekuasaannya sebagai orang tua
terhadap anak-anaknya, kekuasaannya sebagai wali, haknya untuk bekerja pada
angkatan bersenjata dan sebagainya.
Meskipun setiap orang tiada terkecuali
sebagai pendukung hak dna kewajiban atau subyek hukum (echspersoonlijkheid),
namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum (echtsbekwaamheid)
atau di dalam hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam
melaksanakan hak-haknya itu.
Menurut ketentuan pasal 1329 KUHPerdata,
setiap orang adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum (membuat
perikatan-perikatan), kecuali jika ia oleh undnag-undang dinyatakan tidak
cakap.
Orang-orang yang menurut undang-undang
dinyatakan “tidak cakap” untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
1.
Orang-orang yang belum dewasa;
2.
Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan
(Curatele);
3.
Orang-orang yang dilarang undang-undang
untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang
dinyatakan pailit.
(Pasal 1330 KUHPerdata)
Jadi orang-orang yang cakap melakuan
perbuatan hukum (rechtsbekwaamhaid) adalah orang dewasa dan sehat akal
pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Orang yang belum dewasa dan orang yang
ditaruh dibawah pengampuan (curatele) dalam melakukan perbuatan hukum
diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampunya (curator).
Menurut KUHPerdata, orang dikatakan belum
dewasa adalah seseorang yang belum mencapai usia genap 21 (dua puluh satu),
kecuali ia sudah kawin sebelum usia tersebut. (Pasal 330 KUHPerdata)
Jadi demikian menurut KUHPerdata seseorang
dikatakan dewasa, jika ia telah mencapai usia genap 21 (dua puluh satu) tahun
atau mereka yang telah melangsungkan perkawinan sebelum usia 21 (dua puluh
satu) tahun.
Dengan berlakunya UU No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat perbedaan pendapat mengenai batas usia
dewasa. Ada yang berpendapat bahwa usia dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun
seperti yang diatur dalam KUHPerdata, dan ada pula yang berpendapat bahwa usia
dewasa adalah 18 (delapan belas) tahun sebagaimana dapat ditafsirkan dari pasal
47 ayat 1 dan pasal 50 ayat 1 UU Perkawinan.
Di dalam Undang-Undang terdapat
ketentuan-ketentuan yang secara khusus, memperbedakan antara
kecakapan-kecakapan seorang laki-laki dan seorang perempuan, misalnya :
1.
Untuk melangsungkan perkawinan.
Menurut Pasal 29 KUHPerdata, seorang Perempuan harus berusia 15 tahun dan pria
harus berusia 18 tahun. (Menurut Pasal 7 ayat UU Perkawinan, Wanita harus
berusia 16 tahun dan Pria harus berusia 19 tahun).
2.
Untuk melakukan pengakuan anak luar kawin.
Seorang pria harus telah berusia 18 (delapan belas) tahun dan seorang wanita
tanpa batas usia. (Pasal 282 KUHPerdata).
Dari apa yang diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa setiap orang adlaah subyek hukum (rechtspersoonlijkheid)
yakni pendukung hak dan kewajiban. Namun tidak setiap orang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum. Dan orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum
(echtsbekwaamheid) tidak selalu berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum (rechtsbevoegheid).
Dengan demikian echtsbewaamheid adalah
syarat umum, sedangkan hukumrechtbevoegheid adalah syarat khusus
untuk melakukan perbuatan hukum.
Namun demikian Undang-Undang juga mengatur
beberapa perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh seorang yang belum dewasa
(belum berusia 21 tahun),misalnya :
1.
Melangsungkan perkawinan (Pasal 29
KUHPerdata, Pasal 7 UU Perkawinan), Pria 19 th, Wanita 16 th.
2.
Melakukan pengakuan anak (Pasal 282
KUHPerdata), Pria 19 th, Wanita tanpa batas.
3.
Membuat wasiat (Pasal 897 KUHPerdata), 18
th.
4.
Menjadi saksi (Pasal 1912 KUHPerdata), 15
th.
BADAN HUKUM
Dalam lalu lintas hukum ditengah-tengah
masyarakat, ternyata manusia (orang/Natuurlijke Persoon) bukan
satu-satunya subyek hukum, tetapi masih ada subyek hukum lain yaitu badan-badan
atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan
perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan
itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan
perantaraan pengurusnya seperti misalnya mengadakan perjanjian jual beli, tukar
menukar, sewa menyewa dan segala macam perbuatan hukum lainnya di lapangan
hukum harta kekayaan, dapat digugat dan dapat juga menggugat di muka hakim.
Singkatnya, diperlakukan sepenuhnya sebagai seorang manusia. Badan atau
Perkumpulan itu dinamakan “Badan Hukum” (Recht Persoon) yaitu orang yang
diciptakan oleh hukum. Badan hukum tersebut misalnya Perseroan Terbatas (PT),
Koperasi, Yayasan.
Kriteria atau syarat yang harus dipenuhi
agar suatu badan atau perkumpulan dapat dikatakan sebagai suatu badan hukum
adalah :
a. Syarat materiil :
1. Memiliki kekayaan yang
terpisah;
2. Mempunyai tujuan
bersama yang bersifat stabil;
3. Mempunyai organisasi
yang teratur (adanya pengurus dari badan itu).
b. Syarat Formil : Adanya pengesahan dari
Pemerintah.
Untuk mengetahui hakekat
suatu badan hukum, di dalam ilmu hukum terdapat beberapa teori yang satu dengan
yang lain saling berbeda-beda, yaitu:
1.
Teori Fictie:
Menurut teori ini badan hukum itu
semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fictie, yakni sesuatu
yang seseungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan
sebagai subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia.
Teori ini dikemukakan oleh von Savigny.
. Teori Harta Kekayaan
Bertujuan (Doel Vermogens Theorie):
Menurut teori ini hanya manusia saja yang
dapat menjadi subyek hukum. Namun kata teori ini, ada kekayaan (vermogen)
yang bukan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuan
tertentu. Kekayaan yang tidak ada pemiliknya dan terikat pada tujuan tertentu
inilah yang diberi nama badan hukum. Teori ini diajarkan oleh A. Brinz dan
diikuti oleh van der Heijden.
Teori Organ:
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak
(fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubyek. Tetapi badan hukum
adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan
hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang
ada padanya (pengurus, anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang
mempunyai panca indera dan sebagainya. Teori ini diajarkan oleh Otto van
Gierke.
Teori Milik Bersama (Propriete
Theorie):
Menurut teori ini hak dan kewajiban badan
hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama.
Kekayaan hukum adalah kepunyaan bersama-sama anggotanya. Orang-orang yang
berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi
yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu, badan hukum adalah suatu
konstruksi yuridis saja. Teori ini diajarkan oleh Olanial dan Molengraff.
Teori Kenyataan Yuridis:Menurut
teori ini badan hukum itu merupakan suatu realita, konkret, riil, walaupun
tidak bisa diraba, bukan khayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori yang
dikemukakan oleh Majers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan
badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukumnya saja.
Badan hukum dapat dibedakan atas :
a. Badan Hukum Publik, dan
b. Badan Hukum Privat.
Di Indonesia kriteria yang dipakai untuk
menentukan sesuatu badan hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan
hukum privat ada 2 (dua) macam :
1.
Berdasarkan terjadinya,
yakni badan hukum privat didirikan oleh perseorangan, sedangkan badan hukum
publik didirikan oleh Pemerintah/Negara.
2.
Berdasarkan lapangan kerjanya,
yakni apakah lapangan pekerjaannya itu untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau
lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut
merupakan badan hukum publik. Tetapi kalau lapangan pekerjaannya untuk
kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.
*Badan hukum Publik misalnya: Negara
Republik Indonesia, Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten/Kota, Perusahaan
Umum (PERUM).
*Badan hukum Privat,
misalnya: Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Yayasan
Sumber : http://madryawanbudiputro.blogspot.com/
Post a Comment